Catatan Asosiasi Panasbumi Indonesia pasca Peristiwa 25 Januari di Mandailing Natal

Header Menu

Catatan Asosiasi Panasbumi Indonesia pasca Peristiwa 25 Januari di Mandailing Natal

wartapalapa
Minggu, 21 Februari 2021



Wartapalapa.com, Jakarta

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak dalam wilayah ring of fire dianugerahi potensi energi panas bumi yang cukup besar yaitu sekitar 40 persen dari cadangan potensi panas bumi di dunia. 

Berdasarkan data Badan Geologi, potensi panas bumi di Indonesia sebesar 23,9 Giga Watt (GW) hingga Desember 2019, dan sampai dengan saat ini, berdasarkan data Direktorat Panas Bumi, potensi ini baru dimanfaatkan sebagai tenaga listrik sebesar 8,9% atau 2.130,6 MW, menduduki posisi kedua di dunia. Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pemerintah menargetkan peningkatan pemanfaatan tidak langsung (tenaga listrik) panas bumi dalam bauran energi nasional menjadi 7.241,5 MW di tahun 2025.

Pengembangan dan pengelolaan panas bumi di wilayah Indonesia dipenuhi oleh berbagai romantika dan dinamika, mulai dari survei dan pemboran yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1918 dan 1926 yang sempat terhenti dan baru kemudian bergeliat lagi setelah Indonesia merdeka mulai era Tahun 1960 an, 1970an sampai 1990an, dan sempat terpuruk di akhir tahun 1990an, kemudian bangkit lagi dengan terbitnya UU Panas Bumi di tahun 2003 sampai dengan sekarang paska UU Panas Bumi tahun 2014. 

Romantika yang mewarnai pengembangan panas bumi di Indonesia tidak menyurutkan tekad para pengembang panas bumi di Indonesia untuk selalu mengedepankan operational excellence dalam semua aspek, termasuk Health, Safety, Security, dan Environment dalam pengelolaan panas bumi, dan hal ini terbukti dengan telah beroperasinya selama hampir 40 tahun secara baik dan lancar, dengan jam kerja selamat lebih dari 29 juta sejak tahun 1983 dari lapangan panas bumi pertama di Indonesia di Kamojang Jawa Barat. Di dunia, pengembangan energi panas bumi juga bukan hal yang baru, seperti di Larderello, Italia yang sudah lebih dari 100 tahun dan di Amerika lebih dari 60 tahun.

Dari semua pengembangan panas bumi tersebut, kapasitas energi listrik yang dibangkitkan dari energi panas bumi cenderung terus bertambah seiring dengan berkembangnya teknologi. Sebagai energi yang bersih dan sustainable (berkelanjutan), energi panas bumi juga berperan dalam penyelamatan Islandia dari krisis minyak yang terjadi di tahun 1970an, dimana pada saat itu Pemerintah Islandia memilih untuk mengubah kebijakan energinya dari yang berbasis minyak bumi menjadi berbasis hidro dan panas bumi, dan saat krisis minyak berakhir di tahun 1980 an, negara-negara lain kembali kepada minyak bumi, namun Islandia tetap konsisten dengan pengembangan panas bumi dan terus membuat kemajuan dalam pengembangan energi terbarukan. Sukses pengembangan dan pengelolaan panas bumi juga terjadi di beberapa negara lain seperti Meksiko, Filipina, dan New Zealand. Berbagai tantangan dalam pengembangan dan pengelolaan energi panas bumi juga telah dialami, tidak terkecuali di Indonesia, yang belakangan juga sempat ada dinamika sosial di Banten dan terakhir insiden paparan H2S yang terjadi di lapangan panas bumi Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara pada tanggal 25 Januari 2021.

“Kami sangat prihatin dan mengucapkan duka yang mendalam kepada para korban dan Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) atas insiden yang terjadi di tanggal 25 Januari 2021 tersebut” ujar Ketua Umum Asosiasi Panasbumi Indonesia (API), Prijandaru Effendi melalui keterangan pers-nya yang diterima MohgaNews, Minggu (21/02/2021).

“Kami sangat menghormati investigasi yang saat ini sedang dilakukan oleh pihak yang berwenang dan tentunya hasil dari investigasi tersebut akan menjadi pembelajaran yang sangat berharga dan perbaikan dibidang keselamatan kerja dan lindungan lingkungan bagi SMGP maupun pengembang panas bumi lainnya” tambah Prijandaru.

Prijandaru juga menegaskan bahwa pengembangan energi panas bumi tetap harus berjalan, karena selain sudah terbukti aman, bersih dan sustainable (berkelanjutan), pengembangan panas bumi saat ini juga berkontribusi pada pengurangan emisi sekitar 11 juta ton CO2 per tahun dan menghemat cadangan devisa negara sekitar 2 Milliar Dollar USD dalam setahun, serta masih banyak multiplier effect lainnya seperti berkembangnya perekonomian masyarakat di sekitar lokasi pengembangan panas bumi.

“Hampir semua pengembangan panas bumi berada di pegunungan yang sangat terbatas akses infrastrukturnya, dan pengembang panas bumi melakukan pengembangan infrastruktur untuk bisa mengembangkan panas bumi di wilayah itu, dan setelah operasi juga melakukan pembayaran bonus produksi langsung ke rekening Pemerintah Daerah” tambah Prijandaru.

Dan walaupun energi panas bumi merupakan energi yang berkearifan lokal, in situ, bersih dan ramah lingkungan serta handal karena bisa menjadi beban dasar (base load) bagi sistem kelistrikan PT. PLN (Persero), Prijandaru juga mengingatkan kepada para pengembang panas bumi agar pelaksanaan operasionalnya juga memperhatikan dan menjalankan semua prosedur yang berlaku pada business practice panas bumi yang baik serta terus menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan stakeholder di sekitarnya.

“Sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat harus dijaga dengan baik, karena para pengembang panas bumi akan hidup berdampingan dengan masyarakat dalam pengelolaan panas bumi” tambah Prijandaru.

Seperti kita ketahui rata-rata jangka waktu pemanfaatan panas bumi adalah 30 tahun di luar waktu yang dibutuhkan untuk eksplorasi dan konstruksi.

Prijandaru juga menambahkan bahwa pengembangan panas bumi saat ini di Indonesia akan membuka peluang potensi investasi sebesar kurang lebih USD. 25 milliar dalam 5 tahun kedepan, dan setiap proyek panas bumi juga akan meningkatkan infrastruktur dan ekonomi daerah penghasil, membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar rata-rata kurang lebih 600 - 1500 orang selama masa konstruksi, dan 100 orang selama masa produksi. 

“Kami menyadari bahwa setiap kegiatan pengembangan energi panas bumi tetap memiliki resiko. Oleh karenanya, prinsip kehati-hatian dan penerapan sistim Keselamatan Kesehatan Kerja serta Lindungan Lingkungan yang benar dan efisien adalah merupakan kewajiban setiap pengembang dan operator panas bumi. Berdasarkan statistik keselamatan kerja pengembangan panas bumi di Indonesia, selama ini telah memiliki jam kerja selamat yang tinggi. Atas komitmennya ini hampir semua pengembang panas bumi mendapatkan penghargaan dari Kementerian terkait, baik dibidang keselamatan kerja maupun lindungan lingkungan dan pengembangan masyarakat” jelas Prijandaru.

Lebih lanjut Prijandaru menyampaikan bahwa dengan dukungan dari setiap pemangku kepentingan secara berkelanjutan, setiap risiko dapat diminimalisir dan kami, para pengembang dan usaha penunjang panas bumi, tentu saja akan terus membenahi diri dan meningkatkan penerapapan prinsip kehati-hatian dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Dengan demikian, para pemangku kepentingan, masyarakat dan pengembang dapat bersama–sama mengambil peran dalam menjaga ketahanan energi nasional dengan mengakselerasi pembangunan proyek panas bumi di Indonesia. (Rls/Marli)